14 Maret 2009

" Maaf, Pak !"

Ada yang bilang bahwa memaafkan tidak akan menurunkan wibawa dan harga diri. justru akan membuat kita menjadi lebih bijak dan mulia.Tapi kenapa masih banyak yang menganggap "Sorry is not enough?". Tidak cukupkah jika seseorang telah meminta maaf?

Sebuah kejadian singkat kemarin menyadarkan saia bahwa di dunia ini ada hal-hal yang tidak cukup dibayar dengan "maaf".

Perjalanan pulang seperti biasa di atas angkutan umum ( in Makassar they called Pete-pete). Saia bersama dua orang teman sibuk mengobrol di atas pete-pete. Waktu menunjukkan pukul 9 malam. Jalanan kampus lengang dan sunyi. Tapi tidak mengurangi kehebohan kami bertiga di atas pete-pete (maklum, ibu-ibu arisan.. haha). Saat itu, penumpang yang ada hanya kami, seorang remaja yang mungkin seumuran anak SMP dan seorang pria paruh baya yang duduk di samping sopir pete-pete.

Sekilas saia perhatikan sopir pete-pete lewat cermin di depan. Dari wajahnya saia menaksir usianya kira-kira lima puluhan. Perawakannya kecil, kurus tapi gurat wajahnya menggambarkan betapa sulit hidup yang dia lakoni saat ini. Saia kemudian berpaling pada lelaki yang duduk di sampingnya. Usia mereka mungkin tidak jauh berbeda. Hanya saja, nasib yang membuat mereka berbeda. Pakaian lelaki paruh baya itu tampak rapi. kemeja bergaris dan celana flanel hitam. Berbeda dengan sang sopir yang hanya memakai kaus putih yang mungkin sudah sering dipakai sehingga warnanya tak jelas antara kuning atau coklat pucat. Saia menghela napas sebentar. Hal ini seperti ini sebenarnya adalah sesuatu yang biasa. Bukankah hidup memang tidak cuma hitam putih?

Saia kemudian melanjutkan mengobrol dengan dua teman yang duduk di depan saia. Gelak tawa kami bertiga sesekali terdengar. Pete-pete yang kami tumpangi akhirnya memasuki jalan raya. Tak lama, remaja yang duduk di samping teman saia kemudian turun dari pete-pete. Satu hal yang ternyata tidak disadari oleh semua yang ada di pete-pete.

Pete-pete ini berhenti tepat di depan bangunan bercat hijau yang di dalamnya adalah mereka yang berpakaian loreng. Bukan karena bangunan hijaunya, tapi karena peraturan yang ada disitu. Peraturan dimana kendaraan dilarang berhenti di sepanjang depan bangunan itu. Dan pete-pete yang saia tumpangi baru saja tanpa sadar melanggar peraturan itu!

Saia dan kedua teman saia masih saja tidak menyadari apa yang terjadi ketika pete-pete berhenti kembali. Tak jauh dari pemberhentian yang pertama. Kami terlalu sibuk dengan obrolan kami yang tidak jelas,gak mutu tapi asyik. Sampai akhirnya mata saia menangkap seorang lelaki berperawakan besar dengan seragam lorengnya berjalan mendekati pete-pete yang kami tumpangi. Lelaki itu kemudian berbicara dengan sopir pete-pete.
Tapi saia akhirnya sadar kalau lelaki itu sedang menegur si sopir pete-pete. Lebih tepatnya membentak. Saia kemudian mengerling pada kedua teman saia agar mereka menoleh pada "percakapan" si sopir pete-pete dan lelaki berseragam di luar jendela. Kami pun menyimak yang terjadi di depan kami.

Lelaki itu terlihat sangat marah dengan keteledoran si sopir pete-pete. Sementara sopir pee-pete tak hentinya meminta maaf berulang-ulang sembari mengatupkan kedua tangannya dan menunduk. Wajahnya terlihat menyesal. "Iye Pak,minta maaf ka. Tidak sengaja ka tadi. Kulupai skali. Maafkan,Pak. Salah memang ka tadi. Maaf,Pak!" Hanya itu kalimat yang terus keluar dari bibir si sopir pete-pete. Mungkin saja dia benar-benar tidak sadar telah berhenti di jalur yang salah. Namun, lelaki berseragam tampaknya belum bisa menerima permintaan maaf si sopir pete-pete. Dia terlihat semakin marah. Dan akhirnya sebuah "hadiah" berupa tonjokan mendarat di rahang kanan si sopir pete-pete.

Kami bertiga tersentak. Tidak menyangka akan seperti itu ending "percakapan" mereka. Sang sopir hanya mampu terdiam sembari memegang pipi kanannya. Perih.

Pete-pete kembali membelah jalan raya yang masih ramai dengan kendaraan yang sibuk berseliweran. Saia dan kedua teman saia masih terdiam. Shock dengan kejadian tadi. Dan kata "kasihan" terucap juga dari kami. Saia masih tidak mengerti dengan tindakan lelaki berseragam tadi. Apakah harus seperti itu prosedurnya menegur orang yang salah? Apakah selama ini memang begitulah yang sering terjadi? Teguran yang kemudian diakhiri dengan bogem mentah. Lalu untuk apa sebuah teguran kalau toh ujung-ujungnya dihadiahi dengan pukulan juga?

Saia masih sibuk memikirkan berbagai pertanyaan yang hilir mudik di kepala saia. Sementara salah seorang teman saia kemudian berkomentar, " sejak dulu saya memang tidak suka dengan orang-orang seperti itu. Sombong sekali mereka dengan pakaiannya,dengan embel-embel "membela rakyat". Menjijikkan ya kalau kenyataannya seperti itu?"

Ah, kejadian tadi yang mungkin bagi sebagian orang bukanlah hal yang penting, tapi bagi saia sungguh suatu hal yang untuk kesekian kali mencubit hati saia. Menyadarkan saia bahwa sudah terlalu banyak orang yang kehilangan nurani di negeri ini. Hukum rimba selalu ada. Siapa yang kuat dialah yang menang (baca: berkuasa).

Saia menghela napas. Ternyata maaf saja memang tidak cukup. Bahkan untuk kekhilafan sekecil apapun. Sejujurnya, saia pun tidak begitu respek dengan orang-orang seperti itu. Apapun warna seragam yang mereka kenakan. Meskipun tidak semuanya seperti itu. Mungkin saja masih ada "orang baik" yang tersisa di antaranya. (Tapi sebagian besar seperti itu kan?)
Entahlah. Mungkin tidak sepantasnya menjudge semua orang seperti itu. Diantara orang-orang jahat selalu ada orang baik,kan? Begitu pun sebaliknya.

Kedua teman saia kemudian turun tepat di depan lorong masuk pondokan mereka. Jadilah saia duduk sendiri di belakang. Penumpang yang tersisa tinggal saia dan lelaki paruh baya yang duduk di samping sopir pete-pete. Sekali lagi saia melihat ke arah sopir pete-pete. Sembari menyetir, tangan kanannya sesekali memegang bekas pukulan tadi. Ada luka tertinggal disana. Bukan cuma di rahangnya, tapi juga di hatinya. Mungkin dia hanya bergumam, sudah dibentak,dipukul pula. Alangkah malangnya.

hmmm...
Saia melihat keluar jendela. Masih mencoba mencerna yang baru saja terjadi. Saia malah semakin bingung dan...sedih.

Sebenarnya, ada apa dengan meminta maaf dan memaafkan???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar